Tadi pagi, ada peristiwa yang menginspirasi saya untuk
menulis article ini. Saya hendak meminta peluru dan sasaran tetapi saya tunda
karena pelatih saya sedang telepon lama sekali. Akhirnya saya tinggal ganti
baju dulu, sampai saya kembali pun belum selesai. Karena menurut saya mengajak
bicara saat orang sedang telepon itu tidak sopan. Saya tunggu sampai teleponnya
selesai, ternyata telepon itu meminta orang yang bertugas menjaga pasokan untuk
mengambil sasaran dan peluru. Spontan saya bilang, "lho pak, saya
juga". Disitulah saya dimarahi, kenapa nggak daritadi? orang yang bertugas
pun juga memarahi saya, kenapa nggak pagian bilangnya? Disinilah timbul sedikit
konflik batin di benak saya, tapi karena saya mau latihan menembak ya saya
cuekin aja. Saya agak penasaran, apa sih yang sebenarnya terjadi? Saya mencoba
menganalisa kejadian tadi secara ilmiah. Ternyata hubungannya erat dengan
menembak, terutama bagian psikologis.
Kejadian diatas biasanya sebagai fetakompli (fait accompli
dalam istilah asing), dimana kita di hadapkan atau lebih tepatnya di jebak
secara terang-terangan untuk tidak boleh tidak, bahwa kita harus setuju atas
apapun yang dia ucapkan atau dia lakukan dengan standar yang dia buat sendiri
secara sepihak. Dengan kata lain kita di benturkan pada dua buah pilihan yang
sama-sama bukan merupakan pilihan yang tepat. Kita di “skak mat”.
Jadi ternyata saya di "skak mat". Saya bersyukur
saya tidak merespon kejadian seperti itu. Karena ternyata
jika saya merespon toh tidak akan ada hasilnya positifnya karena saya sudah di"vonis" salah. Dan apabila saya memaksakan untuk merespon atau menjelaskan alasan saya apapun versinya, tetap akan dinilai salah dan ujung-ujungnya malah menjurus ke komplain(protes). Padahal komplain/protes itu dekat sekali dengan konflik psikologis. Malahan dampaknya lebih besar. Ini dia ulasannya.
jika saya merespon toh tidak akan ada hasilnya positifnya karena saya sudah di"vonis" salah. Dan apabila saya memaksakan untuk merespon atau menjelaskan alasan saya apapun versinya, tetap akan dinilai salah dan ujung-ujungnya malah menjurus ke komplain(protes). Padahal komplain/protes itu dekat sekali dengan konflik psikologis. Malahan dampaknya lebih besar. Ini dia ulasannya.
Komplain/protes berarti hanya memikirkan yang negatif.
Masalahnya ada pada sudut pandang melihat masalah bukan pada solusinya. Orang
protes itu seperti menyerah atau tidak peduli pada apapun selain keadaan yang
dialaminya.
Orang yang berpikir positif yang menolak untuk komplain,
memiliki pikiran yang tetap positif meskipun keadaan tidak seperti yang mereka
inginkan. Sekalipun halangan menghadang, mereka tetap percaya bahwa keadaan
akan jadi lebih baik. Tapi mereka tidak hanya mempercayai, mereka juga
bertindak.
Banyak hal yang akan tidak sejalan dengan apa yang
diinginkan. Apapun bisa terjadi, itu adalah proses yang alamiah. Dan sebaiknya
dihadapi dengan bijak. Bisa dengan melihat dari perspektif yang lebih “segar”
atau melakukan hal-hal yang positif.
“Great minds discuss ideas, average minds discuss events; small minds
discuss people.” Eleanor Roosevelt (Pikiran besar mendiskusikan ide, pikiran
rata-rata mendiskusikan masalah; pikiran kecil membahas orang lain)
4 hal yang dapat dilakukan daripada complain:
-
Buat pro dan kontra dari masalah anda dan carilah solusi
-
Buat tujuan yang jelas dan realistis
-
Lakukan sesuatu yang membuat bahagia
-
Buat daftar hal-hal positif
Sebenarnya ulasan diatas lebih general atau umum, tidak spesifik membahas kejadian diatas. Tapi
kejadian diatas menginspirasi untuk belajar dari hal-hal kecil sehari-hari.
Kalau disimpulkan, shooting is positive
thinking. Menembak = berpikir positif. Jika tidak terbiasa positive thinking di kehidupan
sehari-hari, otak kita tidak akan terbiasa berpikir positif di garis tembak.
Jadi ayo tetap postif kawans!
Salam Olahraga!
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar